Inggris mungkin bukan masalah besar bagi saya. Bukan, bukan negaranya, melainkan bahasanya. Oke, saya akui masih sangat banyak yang saya harus pelajari mengenai bahasa inggris. Tetapi untuk percakapan sehari-hari, saya rasa saya mampu survive dengan kemampuan saya. Tapi tidak untuk Inggris akademik, yang membuat saya betapa bahasa akademik yang sudah cukup menyebalkan dalam bahasa natif indonesia saya, lebih menyebalkan lagi di Bahasa Inggris. Phew. So yeah, bear with my Indonesian as I'm stressed out with my Thesis papers.
---
Kemang Pratama, sometime around 2006s
Pertama kali saya ngeliat padang rumput luas yang dipotong pendek merata seukuran mata kaki saya, hati saya bergetar.
Kami baru saja pindah dari rumah kami sebelumnya ke perumahan kemang pratama yang berlokasi di bekasi timur(?) Dan hal yang menarik saya pertama kali tidak lain dan tidak bukan adalah lapangan bolanya.
Saya ingat, begitu saya sampai di rumah baru kami, saya langsung mengenakan kaos kaki dan sepatu bola kebanggaan saya serta membawa bola kesayangan saya. Saya segera berlari ke lapangan yang sudah saya lihat sebelumnya dengan peralatan itu, dan mendapati diri saya terisolasi dari hiruk pikuk macetnya bekasi dimana saya berdiri ditengah lapangan yang sangat luas itu. Lapangan dalam kondisi tergenang dan berlumpur, namun saya tidak peduli. Saya menendang bola sekuat-kuatnya dan mengejar kemana arah jatuh bola. Menyenangkan sekali rasanya dapat menikmati waktu seperti ini.
Sepak bola.
Olahraga yang diperkenalkan teman baik saya saat saya beranjak duduk di sekolah dasar. Rasa-rasanya hampir tiada hari sore tanpa sebuah pertandingan bola. Saya dapat bermain diposisi mana saja, dan saya punya kepercayaan diri dalam itu.
Suatu pagi saya memutuskan untuk ikut sebuah SSB di Kemang Pratama 2 itu. Setelah registrasi dan pendaftaran selesai, jantung saya berdebar-debar ketika pelatih mulai mengambilkan seragam klub untuk saya. Pikiran saya tentang nomor punggung benar-benar crowded. Saya sangat berharap untuk mendapatkan nomor punggung 10. Saya juga sangat menyukai nomor 7. Atau mungkin 6 sesuai tanggal kelahiran saya? Ah, mungkin juga nomor 21 yang selalu menjadi angka 'keberuntungan' dalam hidup saya. Sebagai informasi, angka 21 selalu banyak kaitannya dengan saya: nomor absen, tanggal kelahiran adik saya, nomor rumah, dan nomor belakang hape.
Saya berharap dapat mengenakan nomor punggung 10, pada kenyataannya nomor punggung yang diberikan kepada saya adalah nomor 11.
Tidak pernah terbesit dalam hati saya untuk mengenakan nomor punggung ini, tetapi saya rasa saya tidak punya pilihan lain. Setelah saya mengenakan kostum itu, saya duduk ditepi lapangan menunggu giliran saya untuk ikut bermain dengan peserta SSB lainnya.
Saat itu sebuah latihan tanding sedang diadakan. Permainan terlihat berat sebelah dimana regu B tertinggal 2 gol dan regu A ditempati oleh seorang kiper yang handal. Ya, si kiper rupanya kiper utama dari SSB itu.
Segera pelatih memasukkan saya kedalam regu B dan permainan dimulai kembali. Rekan setim saya nampaknya belum mempercayai saya sampai saya tidak pernah mendapatkan operan. Akhirnya, saya mengejar bola keluar dari posisi saya sebagai pemain depan dan merebutnya dari regu lawan. Saya bermain cukup baik saat itu, sekalipun saya mendapatkan posesi bola, saya tidak sungkan untuk mengoper kepada rekan yang berada di posisi yang lebih baik. Semangat kekompakan mulai muncul hingga akhirnya datang kesempatan emas saya untuk mencetak gol bagi regu B, dan ya saya berhasil memanfaatkannya. Hari itu juga, belum ada 15 menit saya bermain, saya sudah mencetak gol untuk tim dan klub pertama saya. Prestasi yang cukup membanggakan, apalagi gol itu dicetak saat dijaga kiper utama tim. Saya ingat bagaimana saya berselebrasi dengan mengacungkan telunjuk keatas langit, layaknya Hyuga Kojiro yang baru mencetak gol dgn tendangan macannya ke gawang Nankatsu. Sesaat setelah saya melakukan selebrasi itu, pertandingan selesai.
Bisa dikatakan, perbuatan saya saat itu bisa dibilang cukup arogan. Tanpa saya sadari, saya berhasil membuat 'musuh' dalam tim saya sendiri. Si kiper dan temannya bernomor punggung 14 tidak menyukai saya dan sejak saat itu terbentuk rivalry antara saya dan si 14. Tapi jujur saja, diri saya yang muda dulu tidak mengerti apa-apa tentang rivalry. Saya benci segala macam bentuk konflik, oleh karena itu saya memilih untuk menghindar sebisa mungkin XD.
Mungkin kemampuan saya untuk bermain bola berada diatas level anak-anak diusia saya saat itu. Saya terbiasa bermain dengan teman-teman saya yang lebih tua 3-5 tahun diatas saya. Sehingga suatu hari pelatih merotasi saya untuk berlatih di tim 'remaja'. tim yang berisikan Anak-anak SMP-SMA.
Pertama saya latih tanding dalam tim itu, saya menerima kick off dan diposisikan sebagai striker. Saya ingat betul perlakuan yang pertama kali saya dapatkan saat itu... "Hancurkan nomor sebelas!"
Tim lawan bersorak dengan keras mengintimidasi saya. Sepanjang pertandingan, saya sama sekali tidak berkutik. Saya benar-benar ditargetkan untuk dihabisi. Saya benar-benar tidak diberi banyak kesempatan untuk mengolah bola. Saya gentar dan takut jujur saja. Segera setelah pertandingan itu usai, saya kembali kepada pelatih saya dan meminta untuk mengembalikan saya ke tim junior. Pelatih tidak setuju dengan saya, dan tetap menempatkan saya di tim senior.
Segera hari kedua saya berlatih di tim senior, saya menyadari sesuatu.. jantung saya terasa sakit dengan tekanan fisik sekeras ini. Hal ini saya konsultasikan kepada pelatih saya, dan pelatih akhirnya memutuskan untuk menempatkan saya di posisi baru.
yaitu sebagai.. penjaga gawang