Topik : Citizenship
Oleh : Nicko Putra Hafizam
Mendengar kata kewarganegaraan atau citizenship, sejenak yang terlintas di pikiran kita adalah pelajaran tentang hafalan Pancasila dan Undang – Undang yang sudah dipelajari sejak SD. Namun, dengan pendidikan citizenship yang telah dipelajari minimal selama 10 tahun (karena saat kelas 11 dan 12 tidak diwajibkan untuk mengadakan pelajaran kewarganegraan) oleh mahasiswa, dapatkah memberi jaminan untuk setiap pribadi kita masing-masing bahwa citizenship telah sepenuhnya kita sadari dan kita pahami dalam kehidupan kita?
Lalu apakah sebenarnya citizenship itu? Menurut (Melissa Puspitasari : 2011) Istilah kewarganegaraan memiliki arti keanggotaan yang menunjukkan hubungan atau ikatan antara negara dan warga negara. Kewarganegaraan diartikan segala jenis hubungan dengan suatu negara yang mengakibatkan adanya kewajiban negara itu untuk melindungi orang yang bersangkutan. Adapun menurut Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia, kewarganegaraan adalah segala ikhwal yang berhubungan dengan negara. Jadi dapat ditarik kesimpulan dari penryataan yang telah disebutkan di atas, bahwasanya kewarganegaraan merupakan suatu hubungan timbal balik antara seorang warga negara dengan Negara yang ia tempati tersebut. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa kewarganegaraan juga dapat berarti suatu hubungan yang terjadi antara satu individu dengan individu lain, individu dengan kelompok, maupun kelompok dengan kelompok.
Sedangkan, bagaimanakah tujuan pendidikan kewarganegaraan itu? Apa yang diharapkan pada peserta didik setelah menerima pelajaran kewarganegaraan? Menurut (Sedarnawati yasni : 2010: 6) tujuan Pendidikan Kewarganegaraan adalah meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yang berorientasikan Pancasila serta menumbuhkan jiwa yang siap bersaing pada masa depan terutama di era globalisasi ini. Dapat kita ketahui bahwasanya melalui citizenship, peserta didik disiapkan kepada era globalisasi dimana keadaan dan kemajuan iptek yang terus berubah. Sehingga menjadikan sikap siap bersaing di era ini yang sangat dibutuhkan.
Dan dapat kita lihat melalui (Sedarnawati Yasni : 2010: 6) yang menyatakan bahwa, Dengan demikian kompetensi Pendidikan Kewarganegaraan yang ingin dicapai adalah meningkatkan wawasan kesadaran bernegara peserta didik untuk ikut bela negara dan memiliki pola pikir, pola sikap, dan perilaku yang cinta tanah airnya, Indonesia.
Lalu, apakah pelajar Indonesia telah memenuhi standar kompetensi yang ingin dicapai?
Saya mengambil contoh di kalangan pelajar Jakarta. Saat itu saya sedang duduk di sebuah bangku tempat pemberhentian transportasi umum yang ada di pusat Jakarta. Setelah beberapa saat, datang sekelompok pelajar SMA yang masih menggunakan seragam putih abu-abu, berkelompok lalu mulai duduk-duduk di sekitar tempat pemberhentian bus itu. Saya memperhatikan disekeliling saya bahwa banyak sekali orang-orang yang merasa terganggu dengan keberadaan mereka, hal ini disebabkan oleh tingkah para pelajar tersebut yang saat itu sedang merokok, minum-minuman, dan juga membuat gaduh dengan suara keras. Miris nya, perbuatan itu mereka lakukan dengan berseragam SMA. Kejadian yang memilukan bagi saya, karena sebutan pelajar bagi mereka justru tampak seperti sekumpulan orang tidak terpelajar.
Pada poin ini, saya mencoba mengaitkan dengan citizenship, dimana melalui contoh yang telah disebutkan diatas, pelajar tersebut tidak mengindahkan moral yang terkandung dalam citizenship. Contohnya pada kasus tersebut ialah tidak adanya sifat tenggang rasa.
Kemudian saya mencoba untuk mengambil contoh dari lingkungan bukan pelajar.
Waktu itu, saya bersama beberapa orang teman saya yang baru saya kenal memutuskan untuk pergi bersama-sama ke sebuah tempat perbelanjaan yang ada di daerah kemanggisan. Kami naik KOPAJA karena biayanya yang relatif lebih murah, dan ini merupakan suatu pengalaman baru bagi saya sendiri karena di daerah asal saya tidak ada sistem transportasi seperti kopaja ini. Beberapa saat setelah kami baru saja duduk di dalam bus, kenet bus menghampiri kami dan memberi isyarat untuk membayar biaya angkutan. Hal ini dilakukan dengan cara yang belum pernah saya temui sebelumnya, menghampiri penumpang, lalu menggerincingkan logam-logam yang ada di tangan sang kenet. Jujur saya sendiri belum terbiasa dengan hal tersebut, sehingga sang kenet yang menghampiri saya tampak setengah marah karena saya belum mengerti apa yang ia maksudkan saat itu. Kemudian selang beberapa waktu, masuk 2 orang anak kecil ke dalam bus membawa beberapa amplop, salah satu dari mereka mulai membagikan amplop, dan yang satu mulai bernyanyi. Kembali saya dihadapi oleh culture shock, tidak ada yang seperti ini di daerah asal saya di Batam. Ketika anak yang membagikan amplop tersebut datang menghampiri saya, saya mecoba menolak untuk menerima amplop tersebut. Tetapi hal itu tidak dihiraukan oleh anak tersebut, dan tetap memberikan amplop itu dengan sedikit memaksa. Dan lagi-lagi, kali ini datang sekelompok pemuda dengan pakaian jeans mereka yang compang-camping mengamen didepan bus. Selesai mengamen, mereka menghampiri penumpang-penumpang KOPAJA dengan mengadahkan sebuah kantung kresek. Yang saya sangat sayangkan adalah mereka meminta dengan memaksa.
Cukup jelas melalui refleksi yang saya tuliskan pada karya tulis ini bahwa minimnya pengetahuan dan pengamalan nilai-nilai citizenship dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Tidak hanya dari kalangan pelajar, tetapi juga dari kalangan non-pelajar.
Mengapa hal ini bisa terjadi?
Kurangnya pendidikan citizenship bisa jadi salah satu faktor utama-nya. Disamping itu, tidak efektif nya pendidikan citizenship yang didapat oleh siswa-siswi di Sekolah. Karena sejalan dengan pengalaman saya bersekolah, citizenship lebih banyak di fokuskan lebih kepada teori daripada penanaman ‘jiwa’ citizenship itu sendiri. Sehingga pelajar hanya mengetahui citizenship sebatas teori saja, tanpa mengetahui bagaimana cara mengamalkannya.
Bagaimana solusi terbaiknya?
Mengutip kembali dari tujuan di adakannya mata kuliah Citizenship, yaitu untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia. Maka ada baiknya bila dalam pendidikan Indonesia disisipkan pengembangan kepribadian yang berasaskan Pancasila, dimana dalam prosesnya, peserta pelajar tidak hanya dituntut untuk mengerti citizenship secara teori saja. Tetapi juga dibina untuk menumbuhkan jiwa Citizenship yang baik melalui pengajaran yang menarik, tidak membosankan, dan tentu saja inovativ dari pengajar.
Merefleksikan pendidikan Citizenship yang saya dapat dalam lingkungan kampus. Saya kira cukup baik dalam pelaksanaannya maupun penanaman ajaran-ajaran Citizenship didalamnya. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada kekurangan di sana-sini dalam prosesnya.
Referensi
Yasni, Sedarwati. (2010). Citizenship. Bogor. Penerbit Media Aksara
http://ferdianchaem.blogspot.com. (2010). Pancasila Sebagai Sistem Etika. [online]. Available from http://www.anneahira.com/apa-itu-remaja.htm. [Accessed at: 16 Oktober 2011]
melissa07.blogspot.com. (2011). Pengertian Kewarganegaraan. [online]. Available from http://melisa07.blogspot.com/2011/02/pengertian-kewarganegaraan.html. [Accessed at: 16 Oktober 2011]